Allah berfirman:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ
وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيْنًا
”Pada hari ini telah Kusempurnakan
untukmu agamamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu serta telah Aku ridhai
Islam sebagai agamamu” (Al-Maa’idah : 3)
Mendengar ayat ini menangislah Umar
ra. Nabi SAW bertanya : ”Apakah yang membuatmu menangis?”
Umar ra menjawab : ”Yang membuatku
menangis adalah kalau kita selama ini selalu bertambah-tambah dalam agama kita.
Tetapi kalau sekarang agama itu telah sempurna, maka sesuatu yang sudah
sempurna tidak bisa lain kecuali dia akan berkurang”. Nabi bersabda : ”Benar
engkau!” (Abus Su’ud)
Diriwayatkan bahwa ayat ini
diturunkan setelah Ashar hari Jum’at di Arafah pada Haji Wada’. Waktu itu Nabi
Muhammad SAW sedang mengerjakan wukuf di Arafah diatas unta, dan setelah ayat
ini tidak lagi turun ayat tentang kewajiban.
Ketika turun ayat ini Nabi Muhammad
SAW merasa tidak kuat menanggung arti dari ayat tersebut. Beliau bertelekan
(bersandar) pada untanya dan unta pun tertunduk.
Turunlah Malaikat Jibril dan berkata
:”Ya Muhammad, benar-benar telah sempurna hari ini perihal agamamu dan telah
selesai apa yang telah diperintahkan Tuhanmu kepadamu, dan apa yang dilarangNya
padamu. Kumpulkan sahabat-sahabatmu dan kabarkan pada mereka bahwa aku tidak akan
lagi turun kepadamu setelah hari ini.”
Lalu kembalilah Rasulullah dari
Mekah ke Madinah. Dikumpulkannya sahabat-sahabatnya dan dibacakannya ayat
tersebut kepada mereka serta menceritakan kepada mereka tentang apa yang
dikatakan oleh Jibril AS.
Mendengar berita tersebut
bergembiralah para sahabat dan mereka berkata: “Telah sempurna Agama kita”, kecuali
Abu Bakar ra. Dia sangat bersedih dan kembali kerumahnya. Dia mengunci pintu
dan tenggelam dalam tangisnya siang malam. Para sahabat mendengar keadaan Abu
Bakar itu, mereka berkumpul dan mendatangi rumah Abu Bakar ra.
Mereka bertanya : ”Hai Abu Bakar,
mengapa engkau menangis pada saat kita harus bergembira dan senang? Karena
Allah SWT telah menyempurnakan Agama kita.” Abu Bakar berkata : ”Hai para
Sahabat, kamu semua tidak mengetahui bencana yang akan menimpamu. Bukankah kamu
mendengar bahwa suatu perkara apabila telah sempurna maka akan muncul
kekurangannya? Ayat ini mengabarkan tentang perpisahan kita, tentang keyatiman
Hasan dan Husain dan tentang Istri-istri Nabi Muhammad SAW yang akan menjadi
janda.”
Maka terjadilah teriakan di antara
para sahabat, mereka semua menangis, dan sahabat-sahabat lain yang tidak ikut
hadir di rumah Abu Bakar mendengar tangisan dari kamar Abu Bakar, lalu mereka
datang kepada Nabi Muhammad SAW, dan mereka berkata: ”Ya Rasulullah, kami tidak
tahu bagaimana keadaan para sahabat itu, hanya saja kami mendengar tangisan dan
teriakan mereka.”
Maka berubahlah wajah Nabi Muhammad
SAW dan berdiri segera menuju rumah Abu Bakar dan bertemu para sahabat. Beliau
melihat mereka dalam keadaan tersebut di atas, Kemudian bersabda : ”Apakah yang
membuat kamu menangis?” Berkatalah Ali ra.: ”Tadi Abu Bakar berkata, Aku telah
mencium bau wafat Rasulullah SAW dari ayat ini. Apakah benar ayat ini dapat
diambil sebagai petunjuk atas wafat engkau?”.
Nabi Muhammad SAW bersabda : ”Benar
Abu Bakar dalam ucapannya itu. Memang benar telah dekat keberangkatanku dari
hadapanmu dan telah tiba saat perpisahanku dengan kamu semua.” Setelah Abu
Bakar ra. mendengar sabda Rasulullah itu berteriaklah dia sekeras-kerasnya dan
jatuh tak sadarkan diri. Ali ra. bergetar tubuhnya dan para sahabat lain
menjadi ribut, mereka ketakutan semuanya dan menangis sejadi-jadinya, hingga
gunung-gunung dan batu-batu ikut menangis bersama mereka, demikian pula para Malaikat.
Ulat-ulat dan binatang-binatang darat maupun di laut, semuanya ikut menangis.
Kemudian Nabi Muhammad SAW
berjabatan dengan para setiap orang dari para sahabat, berpamitan dan menangis
serta memberi wasiat kepada mereka. Kemudian beliau hidup setelah turunnya ayat
tersebut dalam delapan puluh satu hari.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa
setelah dekat wafat Nabi Muhammad SAW, beliau memerintahkan Bilal untuk
menyerukan shalat kepada manusia. Bilal lalu menyerukan Adzan dan berkumpullah
para Sahabat Muhajirin dan Anshar ke Masjid Rasulullah SAW. Beliau mengerjakan shalat
dua rakaat ringan bersama para sahabat. Kemudian naik mimbar, memuji dan menyebut
keagungan Allah SWT. Beliau berkhutbah dengan sebuah khutbah yang dalam, hati
menjadi takut karenanya, dan air mata bercucuran karenanya.
Kemudian Beliau bersabda : ”Wahai
sekalian muslimin, sesungguhnya aku adalah seorang Nabi kepada kamu, pemberi
nasihat dan berda’wah kepada Allah SWT dengan seijinNya. Dan aku berlaku
kepadamu sebagai seorang saudara yang menyayangi dan sekaligus sebagai ayah
yang belas kasih. Barang siapa di antara kamu yang mempunyai suatu penganiayaan
pada diriku, maka hendaklah dia berdiri dan membalas kepadaku sebelum datang
balas membalas di hari kiamat.”
Tidak ada seorangpun yang berdiri
menghadapnya, sehingga Beliau bersabda demikian kedua kali dan ketiga kalinya.
Barulah berdiri seorang laki-laki bernama Ukkasyah bin Muhshin. Berdirilah dia
di hadapan Nabi Muhammad SAW dan berkata : “Demi ayah dan ibuku sebagai
tebusanmu Ya Rasulullah, seandainya engkau tidak mengumumkan kepada kami
berkali-kali, tentu aku tidak akan mengajukan sesuatu mengenai itu. Sungguh aku
pernah bersamamu di Perang Badar. Saat itu untaku mendahului untamu. Maka
turunlah aku dari unta dan mendekatimu agar aku dapat mencium pahamu. Tetapi
engkau lalu mengangkat tongkat yang biasa engkau pergunakan untuk memukul unta
agar cepat jalannya dan engkau pukul lambungku. Aku tidak tahu apakah itu atas
kesengajaan dirimu atau engkau maksudkan untuk memukul untamu ya Rasulullah?”.
Rasulullah bersabda: ”Mohon
perlindungan kepada Allah hai Ukkasyah, kalau Rasulullah sengaja
memukulmu." Lalu beliau bersabda lagi kepada Bilal: ”Hai Bilal,
berangkatlah ke rumah Fathimah dan ambilkan tongkatku.” Maka keluarlah Bilal
dari Masjid sedang tangannya di atas kepalanya: ”Ini adalah Rasulullah,
sekarang Beliau memberikan dirinya untuk diqishash.”
Dia mengetuk pintu Fathimah, dan bertanyalah
Fathimah: ”Siapa yang ada di depan pintu?” Bilal menjawab: ”Aku datang untuk
mengambil tongkat Rasulullah” Fathimah bertanya : ”Hai Bilal, apa yang akan
diperbuat Ayah dengan tongkat itu?” Bilal menjawab: ”Hai Fathimah, Ayahmu
memberikan dirinya untuk di qhisash." Fathimah bertanya lagi: ”Hai Bilal,
siapakah yang sampai hatinya mau membalas pada Rasulullah?”
Lalu Bilal mengambil tongkat itu dan
masuklah dia ke Masjid serta memberikan tongkat kepada Rasulullah, kemudian Rasul
menyerahkannya kepada Ukkasyah. Ketika Abu Bakar dan Umar ra. memandangnya,
maka berdirilah mereka berdua dan berkata : ”Hai Ukkasyah, aku masih berada di depanmu,
maka balaslah kami dan janganlah engkau membalas Rasulullah SAW.”
Rasulullah SAW bersabda: ”Duduklah
engkau berdua, Allah telah mengetahui kedudukanmu.” Berdiri pula Ali ra. dan
berkatalah dia: ”Hai Ukkasyah, aku masih hidup di depan Nabi Muhammad SAW.
Tidak akan aku sampai hati kalau kau membalas Rasulullah SAW. Ini punggungku
dan perutku, balaslah aku dengan tanganmu dan deralah aku dengan tanganmu.” Nabi
Muhammad SAW bersabda : ”Hai Ali, Allah telah mengetahui kedudukan dan niatmu.”
Berdiri pula Hasan dan Husain, dan
mereka berkata : ”Hai Ukkasyah, bukankan engkau mengenal kami berdua. Kami
adalah dua orang cucu Rasulullah. Membalas kepada kami adalah sama seperti
membalas kepada Rasulullah.” Nabi Muhammad SAW bersabda : ”Duduklah engkau
berdua wahai kegembiraan mataku.”
Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda:
”Hai Ukkasyah, pukullah kalau engkau mau memukul.” Ukkasyah berkata: ”Ya
Rasulullah, engkau memukulku dahulu dalam keadaan aku tidak terhalang
pakaianku.”
Lalu Rasulullah menyingkapkan
pakaiaannya, dan berteriaklah orang-orang Islam yang hadir seraya menangis. Ketika
melihat putihnya jasad Rasulullah, Ukkasyah menubruknya dan mencium
punggungnya. Berkatalah dia: ”Nyawaku sebagai tebusanmu ya Rasulullah, siapakah
yang akan sampai hati untuk membalasmu ya Rasulullah. Aku melakukannya hanya
mengharapkan agar tubuhku dapat menyentuh jasadmu yang mulia, dan Allah akan
memelihara aku berkat kehormatanmu dari neraka.”
Rasulullah SAW bersabda: ”Ingat,
siapa yang ingin melihat penghuni surga maka hendaklah dia melihat orang ini.” Semua
orang Islam yang hadir berdiri, dan mencium antara kedua mata Ukkasyah seraya
berkata : ”Beruntung sekali engkau, engkau berhasil mendapatkan derajat yang
tinggi dan berkawan dengan Nabi Muhammad SAW di surga.”
Ya Allah, mudahkanlah kepada kami
untuk mendapatkan syafa’atnya, berkat keagungan dan kemegahanMu (Dari Mau’idhatul
Hasanah)
Ibnu Mas’ud berkata: ”Ketika dekat
wafat Nabi Muhammad SAW berkumpullah kami di rumah Ibu kita Aisyah. Kemudian
Beliau memandang kami dan bercucuranlah air matanya. Beliau bersabda: ”Marhaban
bikum rahimakumullah” (selamat datang kamu semua, mudah-mudahan Allah memberi
rahmat kepada kamu) aku berwasiat kepada kamu agar takwa kepada Allah dan taat
kepadaNya. Telah dekat perpisahan dan telah tiba kembali kepada Allah dan ke
surga Al-Ma’waa. Hendaklah nanti Ali yang memandikan aku, Al-Fadhal bin Abbas
yang menuangkan air dan Usamah bin Zaid yang membantu keduanya. Kafanilah aku
dengan pakaianku sendiri kalau kamu mau, atau dengan pakaian buatan Yaman yang
putih. Jika kamu sudah memandikan aku letakkanlah aku di tempat tidurku didalam
kamarku ini di tepi liang lahadku. Kemudian keluarlah meninggalkan aku sesaat.
Karena pertama-tama yang
menshalatkan aku adalah Allah Azza wa Jalla, kemudian Jibril, kemudian Israfil,
kemudian Mika’il, kemudian Malaikat Maut beserta anak buahnya, kemudian semua
Malaikat yang lain. Setelah ini barulah kamu masuk sekelompok demi sekelompok
dan shalatkanlah aku.”
Setelah mereka mendengar kata
perpisahan Nabi Muhammad SAW ini mereka berteriak seraya menangis. Mereka
berkata: ”Ya Rasulullah, engkau adalah Rasul kami dan kepala kumpulan kami.
Serta penguasa perkara kami. Jika engkau harus pergi, lalu kepada siapakah
nanti kami akan kembali dalam menghadapi kesulitan?”
Rasulullah SAW bersabda : ”Aku
tinggalkan kamu pada jalan kebenaran dan jalan yang bersinar dan aku tinggalkan
untuk kamu dua penasehat: Yang berbicara dan yang diam. Yang berbicara adalah
Al-Qur’an, sedang yang diam adalah kematian. Apabila ada sebuah kesulitan pada
kamu maka kembalilah kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan apabila hatimu keras membantu
lembutkanlah dia dengan mengambil pelajaran dengan hal ihwal kematian.”
Detik-detik Rasulullah saw menjelang
sakaratul maut.
Ada sebuah kisah tentang totalitas
cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit
telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu,
Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita
semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah
kepada-Nya. Ku wariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa
mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang
mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."
Khutbah singkat itu diakhiri dengan
pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar
menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan
tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah
akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu.
Manusia tercinta itu, hampir usai
menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan
Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.
Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik
berlalu, kalau bisa.
Matahari kian tinggi, tapi pintu
Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring
lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang
menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru
mengucapkan salam. "Bolehkah aku masuk?" tanyanya. Fatimah tidak
mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah
yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya
yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu
wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini
aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya
itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak
dikenang.
"Ketahuilah, dialah yang
menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia.
Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakan
tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa
Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah
bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah? " tanya
Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah
terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti
kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega,
matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?
" tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"
"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman
kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada
didalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya
Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh
Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa
sakit sakaratul maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam,
Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah
kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?"
Tanya Rasulullah pada Malaikat
pengantar wahyu itu. "Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut
ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena
sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini,
timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku". Badan
Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak
membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis
shalati, wa maa malakat aimanukum, peliharalah shalat dan santuni orang-orang
lemah di antaramu." Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan,
sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan diwajahnya, dan Ali
kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii, ummatii,
ummatiii" - "Umatku, umatku, umatku" Dan, pupuslah kembang hidup
manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya? Allahumma sholli
'ala Muhammad wa baarik wasalim 'alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada
kita. Kirimkan kepada sahabat-2 muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk
mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan RasulNya mencintai kita. Karena
sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar